Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. Siapa yang mencuri uang itu? Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, Ayah, aku yang melakukannya!
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus? Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. "Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampaike tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! "Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu...." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskansedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar-ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!
"Mengapa membicarakan masa lalu?"; Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku.
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, " tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita.
Senin, 21 November 2011
SEGELAS SUSU YANG MENGHARUKAN.. (Kisah Nyata)
Pada bulan awal Januari 1987 silam, usai pesta perayaan malam pergantian th, ada seorang bocah lelaki miskin yang hidup dari menjual barang asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa di kantongnya hanya tersisa beberapa rupiah uangnya, dan kala itu dia sangat lapar sekali.
Bocah kecil tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda cantik membuka pintu rumah. Bocah kecil itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.
Dan wanita muda tersebut melihat dengan menyelidik, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu segar dari dalam lemari es nya. Bocah itu tertegun heran & meminumnya dengan lambat, seraya ditatap dengan penuh iba hati dari wanita tsb, dan tak lama kemudian bocah kecil itu bertanya dengan polos, “ Berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini..???” dan Wanita itu menjawab dengan penuh senyuman, seraya berkata : “Kamu tidak perlu membayar apapun dik”. “ sejak kami kecil, Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk segala bentuk kebaikan” kata wanita itu dengan suara yg bijak & terdengar ikhlas. Seraya menitikan airmata Bocah lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata : ” Dari dalam hatiku yg paling dalam, aku berterima kasih banyak pada Anda…Semoga Allah SWT membalas ketulusan & kebaikan Anda…”
Singkat cerita, 22 tahun kemudian, wanita muda tersebut, menjadi tua dan mengalami sakit yang sangat serius dan kritis. Para dokter diseluruh kota-kota besar diJawa Barat sudah tidak ada yang sanggup menangani penyakitnya.
Mereka akhirnya mengirimnya ke kota Jakarta, di mana terdapat dokter spesialis yang sangat ahli, disebuah Rumah Sakit terkenal mampu menangani penyakit langka tersebut untuk melakukan pemeriksaan lebih dalam. Pada saat dokter Spesialis itu mendengar nama & kota asal si wanita tersebut dari suster2nya, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dokter tsb. Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumah sakit paling Bonafid diJakarta itu, & segera menuju kamar sipasien wanita tersebut dirawat.
Dengan berpakaian jubah kedokteran, dokter muda tsb menemui si wanita itu. Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandangan pertama. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi team dokter dan memutuskan untuk melakukan upaya yang paling terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. dan sejak hari itu, Ia selalu memberikan perhatian yg sangat spesial & khusus pada kasus penyakit pasien wanita tua yg satu itu.
Setelah melalui perjuangan yang sangat panjang, akhirnya diperoleh kemenangan.. . . Wanita itu sembuh..!! dan Dr. Spesialis ini meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan dan rekapitulasi pengobatannya. ..tak lama berselang kemudian dokter melihat2 tagihannya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien melalui salah satu susternya. Sejenak wanita tua itu takut untuk membuka tagihan tersebut, dibenaknya ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicil seumur hidupnya…
Akhirnya dengan membaca Basmallah Ia memberanikan diri untuk membuka & membaca tagihan tersebut, dan ia sangat terkejut ternyata sudah dibayar lunas semua tagihan2nya selama 2 bulan perawatan dirinya, & ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan tebal yg dicap stempel Rumah Sakit & berbunyi….
“Telah dibayar lunas 22 th yg lalu dengan segelas besar susu…” tertanda…(Nama Dokter Spesialis yg merawatnya) kontan saja bersimbah air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa lirih seraya mengucapkan : “ Subhaanallaah…., terima kasih ya Allah, bahwa cinta & kasih Sayang-MU telah menyirami seluruh bumi ini melalui hati dan tangan-tangan hamba-Mu yang kau kehendaki….”
Demikian lah, sepenggal kisah nyata ini, Hikmah dibalik peristiwa ini adalah:
“Setiap kebaikan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan hati seorang hamba kepada hamba Allah lainnya, kelak pasti akan dibayar Allah dengan jalan yg tiada disangka-sangka…” Begitupun sebaliknya…Karna Dia lah yg Maha menggenggam dibalik setiap kejadian didunia ini….
-semoga kita bisa menjadikannya sebagai pelajaran-- :)
Bocah kecil tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda cantik membuka pintu rumah. Bocah kecil itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.
Dan wanita muda tersebut melihat dengan menyelidik, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu segar dari dalam lemari es nya. Bocah itu tertegun heran & meminumnya dengan lambat, seraya ditatap dengan penuh iba hati dari wanita tsb, dan tak lama kemudian bocah kecil itu bertanya dengan polos, “ Berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini..???” dan Wanita itu menjawab dengan penuh senyuman, seraya berkata : “Kamu tidak perlu membayar apapun dik”. “ sejak kami kecil, Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk segala bentuk kebaikan” kata wanita itu dengan suara yg bijak & terdengar ikhlas. Seraya menitikan airmata Bocah lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata : ” Dari dalam hatiku yg paling dalam, aku berterima kasih banyak pada Anda…Semoga Allah SWT membalas ketulusan & kebaikan Anda…”
Singkat cerita, 22 tahun kemudian, wanita muda tersebut, menjadi tua dan mengalami sakit yang sangat serius dan kritis. Para dokter diseluruh kota-kota besar diJawa Barat sudah tidak ada yang sanggup menangani penyakitnya.
Mereka akhirnya mengirimnya ke kota Jakarta, di mana terdapat dokter spesialis yang sangat ahli, disebuah Rumah Sakit terkenal mampu menangani penyakit langka tersebut untuk melakukan pemeriksaan lebih dalam. Pada saat dokter Spesialis itu mendengar nama & kota asal si wanita tersebut dari suster2nya, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dokter tsb. Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumah sakit paling Bonafid diJakarta itu, & segera menuju kamar sipasien wanita tersebut dirawat.
Dengan berpakaian jubah kedokteran, dokter muda tsb menemui si wanita itu. Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandangan pertama. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi team dokter dan memutuskan untuk melakukan upaya yang paling terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. dan sejak hari itu, Ia selalu memberikan perhatian yg sangat spesial & khusus pada kasus penyakit pasien wanita tua yg satu itu.
Setelah melalui perjuangan yang sangat panjang, akhirnya diperoleh kemenangan.. . . Wanita itu sembuh..!! dan Dr. Spesialis ini meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan dan rekapitulasi pengobatannya. ..tak lama berselang kemudian dokter melihat2 tagihannya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien melalui salah satu susternya. Sejenak wanita tua itu takut untuk membuka tagihan tersebut, dibenaknya ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicil seumur hidupnya…
Akhirnya dengan membaca Basmallah Ia memberanikan diri untuk membuka & membaca tagihan tersebut, dan ia sangat terkejut ternyata sudah dibayar lunas semua tagihan2nya selama 2 bulan perawatan dirinya, & ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan tebal yg dicap stempel Rumah Sakit & berbunyi….
“Telah dibayar lunas 22 th yg lalu dengan segelas besar susu…” tertanda…(Nama Dokter Spesialis yg merawatnya) kontan saja bersimbah air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa lirih seraya mengucapkan : “ Subhaanallaah…., terima kasih ya Allah, bahwa cinta & kasih Sayang-MU telah menyirami seluruh bumi ini melalui hati dan tangan-tangan hamba-Mu yang kau kehendaki….”
Demikian lah, sepenggal kisah nyata ini, Hikmah dibalik peristiwa ini adalah:
“Setiap kebaikan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan hati seorang hamba kepada hamba Allah lainnya, kelak pasti akan dibayar Allah dengan jalan yg tiada disangka-sangka…” Begitupun sebaliknya…Karna Dia lah yg Maha menggenggam dibalik setiap kejadian didunia ini….
-semoga kita bisa menjadikannya sebagai pelajaran-- :)
Jumat, 18 November 2011
Air Mendidih
Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?” “Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?” Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.
Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut. “Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?”
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.
Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.
di copy dari www.lautanindonesia.com
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?” “Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?” Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.
Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut. “Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?”
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.
Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.
di copy dari www.lautanindonesia.com
Sebuah Cerita Tentang Kasih Sayang
Pada suatu ketika, ada sebuah pulau yang dihuni oleh semua sifat manusia. Ini berlangsung lama sebelum mereka menghuni tubuh manusia, dan lama sekali sebelum kita mengotak-ngotakkannya kedalam istilah baik atau buruk. Pokoknya mereka ada, dengan ciri-cirinya sendiri.
Bahkan sifat-sifat tersebut berdiri sendiri sebagaimana manusia.
Mungkin itu sebabnya pada akhirnya mereka bersatu.
Dipulau tersebut hiduplah Optimisme, Pesimisme, Pengetahuan, Kemakmuran, Kesombongan, dan Kasih Sayang.
Sudah barang tentu sifat-sifat yang lain hidup disana juga. Pada suatu hari dimaklumatkan bahwa pulau tersebut pelan-pelan tenggelam. Ketika sifat-sifat tersebut mendengar berita ini, mereka dilanda kepanikan.
Mereka berlarian kesana kemari seperti semut yang rumahnya diinjak sampai hancur.
Setelah beberapa saat mereka mulai tenang dan merencanakan tindakan positif.
Karena hidup di pulau, kebanyakan dari mereka punya perahu, jadi mereka semua memperbaiki perahu mereka dan mengatur pemberangkatan dari pulau.
Kasih Sayang belum siap. Dia tidak memiliki perahu sendiri. Mungkin dia telah meminjamkannya kepada seseorang bertahun-tahun yang lalu.
Dia menunda keberangkatannya hingga saat-saat terakhir agar dia bisa membantu orang lain bersiap-siap. Pada akhirnya Kasih Sayang memutuskan bahwa dia harus meminta bantuan.
Kemakmuran baru saja berangkat dari dermaga didepan rumahnya yang besar.
Perahunya besar sekali, lengkap dengan semua teknologi paling mutakhir dan perangkat navigasi. Jika bepergian dengannya sudah pasti perjalanan mereka akan menyenangkan.
"Kemakmuran," panggil Kasih Sayang, "bolehlah aku ikut bersamamu?"
"Tidak bisa," jawab Kemakmuran. "Perahuku sudah penuh.
Berhari-hari kuhabiskan untuk memenuhinya dengan seluruh emas dan perak milikku.
Bahkan hanya tersisa sedikit ruang untuk perabotan antik dan koleksi seni. Tidak ada ruang untukmu disini."
Kasih Sayang memutuskan untuk minta tolong kepada Kesombongan yang sedang lewat didepannya menaiki perahu yang unik dan indah.
"Kesombongan, sudikah engkau menolongku?"
"Maaf, " kata kesombongan. "Aku tidak bisa menolongmu.
Tidakkah kau lihat sendiri? Kamu basah kuyup dan kotor. Coba bayangkan, betapa kotornya dek perahuku yang mengilat ini nanti jika kamu naik."
Lalu Kasih Sayang melihat Pesimisme yang sedang berusaha sekuat tenaga mendorong perahunya ke air.
Kasih Sayang meletakkan tangannya ke buritan kapal dan membantu Pesimisme mendorong perahunya.
Pesimisme mengeluh terus menerus. Perahunya terlalu berat, pasirnya terlalu lembut, dan airnya terlalu dingin. Sungguh hari yang tidak tepat untuk melaut.
Peringatan yang diberikan mendadak sekali, dan pulau ini tidak seharusnya tenggelam.
Mengapa semua kesialan ini terjadi padanya? Mungkin dia bukan teman seperjalanan yang menyenangkan.
Situasi Kasih Sayang sudah sangat kepepet.
"Pesimisme, bolehkah aku menumpang perahumu?"
"Oh, Kasih Sayang, engkau terlalu baik untuk berlayar denganku. Sikapmu yang penuh perhatian bahkan menjadikanku merasa lebih bersalah dan tidak keruan.
Bayangkan, seandainya ada ombak besar yang menghantam perahu kita dan engkau tenggelam. Bagaimana menurutmu perasaanku jika itu terjadi? Tidak, aku tidak bisa mengajakmu."
Salah satu perahu yang dilihat terakhir kali meninggalkan pulau adalah Optimisme. Dia tidak percaya dengan segala omong kosong tentang bencana dan hal-hal buruk, yaitu bahwa pulau ini akan tenggelam. Seseorang akan mampu berbuat sesuatu dan sebelum pulau ini benar-benar tenggelam.
Kasih Sayang berteriak memanggilnya, tetapi Optimisme terlalu sibuk menatap kedepan dan memikirkan tujuan berikutnya sehingga dia tidak mendengar.
Kasih Sayang berteriak memanggilnya sekali lagi, tetapi bagi Optimisme tidak ada istilah menoleh kebelakang. Dia sudah meninggalkan masa lalu dibelakang, dan berlayar menuju masa depan.
Pada saat Kasih Sayang sudah nyaris putus asa, dia mendengar sebuah suara, "Ayo, naiklah keperahuku."
Kasih Sayang merasa begitu lelah dan letih sehingga dia meringkuk diatas perahu dan langsung tertidur.
Dia tertidur sepanjang perjalanan sampai nakhkoda kapal mengumumkan bahwa mereka telah sampai ditanah kering dan dia bisa turun.
Dia begitu berterimakasih dan gembira karena perjalanannya berjalan aman sehingga dia berterimakasih kepada sang nakhoda dengan hangat, kemudian meloncat kepantai.
Dia melambaikan tangannya ketika pelaut itu meneruskan perjalanannya. Baru pada saat itulah dia sadar kalau lupa menanyakan nama nakhoda itu.
Ketika dipantai dia bertemu dengan Pengetahuan dan bertanya,"Siapa tadi yang menolongku?"
"Itu tadi Waktu"jawab Pengetahuan.
"Waktu?" tanya Kasih Sayang,
"Mengapa hanya Waktu yang mau menolongku ketika semua orang tidak mau mengulurkan tangan?"
Pengetahuan tersenyum dan menjawab,"Sebab hanya Waktu yang mampu mengerti betapa hebatnya Kasih Sayang."
di copy dari www.lautanindonesia.com
Bahkan sifat-sifat tersebut berdiri sendiri sebagaimana manusia.
Mungkin itu sebabnya pada akhirnya mereka bersatu.
Dipulau tersebut hiduplah Optimisme, Pesimisme, Pengetahuan, Kemakmuran, Kesombongan, dan Kasih Sayang.
Sudah barang tentu sifat-sifat yang lain hidup disana juga. Pada suatu hari dimaklumatkan bahwa pulau tersebut pelan-pelan tenggelam. Ketika sifat-sifat tersebut mendengar berita ini, mereka dilanda kepanikan.
Mereka berlarian kesana kemari seperti semut yang rumahnya diinjak sampai hancur.
Setelah beberapa saat mereka mulai tenang dan merencanakan tindakan positif.
Karena hidup di pulau, kebanyakan dari mereka punya perahu, jadi mereka semua memperbaiki perahu mereka dan mengatur pemberangkatan dari pulau.
Kasih Sayang belum siap. Dia tidak memiliki perahu sendiri. Mungkin dia telah meminjamkannya kepada seseorang bertahun-tahun yang lalu.
Dia menunda keberangkatannya hingga saat-saat terakhir agar dia bisa membantu orang lain bersiap-siap. Pada akhirnya Kasih Sayang memutuskan bahwa dia harus meminta bantuan.
Kemakmuran baru saja berangkat dari dermaga didepan rumahnya yang besar.
Perahunya besar sekali, lengkap dengan semua teknologi paling mutakhir dan perangkat navigasi. Jika bepergian dengannya sudah pasti perjalanan mereka akan menyenangkan.
"Kemakmuran," panggil Kasih Sayang, "bolehlah aku ikut bersamamu?"
"Tidak bisa," jawab Kemakmuran. "Perahuku sudah penuh.
Berhari-hari kuhabiskan untuk memenuhinya dengan seluruh emas dan perak milikku.
Bahkan hanya tersisa sedikit ruang untuk perabotan antik dan koleksi seni. Tidak ada ruang untukmu disini."
Kasih Sayang memutuskan untuk minta tolong kepada Kesombongan yang sedang lewat didepannya menaiki perahu yang unik dan indah.
"Kesombongan, sudikah engkau menolongku?"
"Maaf, " kata kesombongan. "Aku tidak bisa menolongmu.
Tidakkah kau lihat sendiri? Kamu basah kuyup dan kotor. Coba bayangkan, betapa kotornya dek perahuku yang mengilat ini nanti jika kamu naik."
Lalu Kasih Sayang melihat Pesimisme yang sedang berusaha sekuat tenaga mendorong perahunya ke air.
Kasih Sayang meletakkan tangannya ke buritan kapal dan membantu Pesimisme mendorong perahunya.
Pesimisme mengeluh terus menerus. Perahunya terlalu berat, pasirnya terlalu lembut, dan airnya terlalu dingin. Sungguh hari yang tidak tepat untuk melaut.
Peringatan yang diberikan mendadak sekali, dan pulau ini tidak seharusnya tenggelam.
Mengapa semua kesialan ini terjadi padanya? Mungkin dia bukan teman seperjalanan yang menyenangkan.
Situasi Kasih Sayang sudah sangat kepepet.
"Pesimisme, bolehkah aku menumpang perahumu?"
"Oh, Kasih Sayang, engkau terlalu baik untuk berlayar denganku. Sikapmu yang penuh perhatian bahkan menjadikanku merasa lebih bersalah dan tidak keruan.
Bayangkan, seandainya ada ombak besar yang menghantam perahu kita dan engkau tenggelam. Bagaimana menurutmu perasaanku jika itu terjadi? Tidak, aku tidak bisa mengajakmu."
Salah satu perahu yang dilihat terakhir kali meninggalkan pulau adalah Optimisme. Dia tidak percaya dengan segala omong kosong tentang bencana dan hal-hal buruk, yaitu bahwa pulau ini akan tenggelam. Seseorang akan mampu berbuat sesuatu dan sebelum pulau ini benar-benar tenggelam.
Kasih Sayang berteriak memanggilnya, tetapi Optimisme terlalu sibuk menatap kedepan dan memikirkan tujuan berikutnya sehingga dia tidak mendengar.
Kasih Sayang berteriak memanggilnya sekali lagi, tetapi bagi Optimisme tidak ada istilah menoleh kebelakang. Dia sudah meninggalkan masa lalu dibelakang, dan berlayar menuju masa depan.
Pada saat Kasih Sayang sudah nyaris putus asa, dia mendengar sebuah suara, "Ayo, naiklah keperahuku."
Kasih Sayang merasa begitu lelah dan letih sehingga dia meringkuk diatas perahu dan langsung tertidur.
Dia tertidur sepanjang perjalanan sampai nakhkoda kapal mengumumkan bahwa mereka telah sampai ditanah kering dan dia bisa turun.
Dia begitu berterimakasih dan gembira karena perjalanannya berjalan aman sehingga dia berterimakasih kepada sang nakhoda dengan hangat, kemudian meloncat kepantai.
Dia melambaikan tangannya ketika pelaut itu meneruskan perjalanannya. Baru pada saat itulah dia sadar kalau lupa menanyakan nama nakhoda itu.
Ketika dipantai dia bertemu dengan Pengetahuan dan bertanya,"Siapa tadi yang menolongku?"
"Itu tadi Waktu"jawab Pengetahuan.
"Waktu?" tanya Kasih Sayang,
"Mengapa hanya Waktu yang mau menolongku ketika semua orang tidak mau mengulurkan tangan?"
Pengetahuan tersenyum dan menjawab,"Sebab hanya Waktu yang mampu mengerti betapa hebatnya Kasih Sayang."
di copy dari www.lautanindonesia.com
Sabtu, 12 November 2011
Kisah Hidup Bapak Aljabar Dunia
Bapak Aljabar. Begitulah ilmuwan yang bernama lengkap Abu ‘Abdallah Muhammad ibnu Musa al-Khwarizmi itu kerap dijuluki. Ia merupakan seorang ahli matematika dari Persia yang dilahirkan pada tahun 194 H/780 M, tepatnya di Khwarizm, Uzbeikistan. Karena itulah, ia kerap kali disapa dengan panggilan Khawarizmi.
Selain terkenal sebagai seorang ahli matematika yang agung, ia juga adalah astronomer, dan geografer yang hebat. Berkat kehebatannya, Khawarizmi terpilih sebagai ilmuwan penting di pusat keilmuwan yang paling bergengsi pada zamannya, yakni Bait al-Hikmah atau House of Wisdom yang didirikan khalifah Abbasiyah di metropolis intelektual dunia, Baghdad.
Bait al-Hikmah merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi. Dalam kurun dua abad, Bait al-Hikmah ternyata berhasil melahirkan banyak pemikir dan intelektual Islam. Di antaranya, nama-nama ilmuwan seperti Khwarizmi.
Khawarizmi adalah seorang ilmuwan jenius pada masa keemasan Islam di kota Baghdad, pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah. Ia sangat berjasa besar dalam mengembangkan ilmu aljabar dan aritmetika. K
Kitab Aljabr Wal Muqabalah (Pengutuhan Kembali dan Pembandingan) merupakan pertama kalinya dalam sejarah dimana istilah aljabar muncul dalam kontesk disiplin ilmu. Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal tersebut. Karangan itu sangat populer di negara-negara barat dan diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Italia. Bahasan yang banyak dinukil oleh ilmuwan barat dari karangan Khawarizmi adalah tentang persamaan kuadrat.
Sumbangan Al-Khwarizmi dalam ilmu ukur sudut juga luar biasa. Tabel ilmu ukur sudutnya yang berhubungan dengan fungsi sinus dan garis singgung tangen telah membantu para ahli Eropa memahami lebih jauh tentang ilmu ini. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.
Selain mengarang al-Maqala fi Hisab-al Jabr wa-al-Muqabilah, ia juga diketahui telah menulis beberapa buku dan banyak diterjemahkan kedalam bahasa latin pada awal abad ke-12, oleh dua orang penerjemah terkemuka yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmetikanya, satu diantaranya berjudul Kitab al-Jam’a wal-Tafreeq bil Hisab al-Hindi (Menambah dan Mengurangi dalam Matematika Hindu).
Buku-buku itu terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa. Khawarizmi meninggal pada tahun 262 H/846 M di Baghdad.
Kamis, 10 November 2011
Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang
Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ?
Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama wajah saya Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta doa pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Kisah Sabar Yang Paling Mengagumkan
Prof. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita.
Sang dokter berkata:
Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.
Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Subhanaahu wa Ta`ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala .
Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: "Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati."
Coba tebak, kira-kira apa jawaban ibu tersebut?
Apakah dia berteriak? Apakah dia histeris? Apakah dia berkata: "Engkaulah penyebabnya!"
Dia tidak berbicara apapun dari semua itu bahkan dia berkata: "Alhamdulillah." Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.
Sepuluh hari berlalu, mulailah sang anak bergerak-gerak. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala serta menyampaikan kabar gembira sebuah kebaikan yaitu bahwa keadaan otaknya telah berfungsi.
Pada hari ke-12, jantungnya kembali berhenti bekerja disebabkan oleh pendarahan tersebut. Kami pun melakukan proses kejut jantung selama 45 menit, dan jantungnya tidak bergerak. Maka akupun mengatakan kepada ibunya: "Kali ini menurutku tidak ada harapan lagi." Maka dia berkata: "Alhamdulillah, ya Allah jika dalam kesembuhannya ada kebaikan, maka sembuhkanlah dia wahai Rabbi."
Maka dengan memuji Allah, jantungnya kembali berfungsi, akan tetapi setelah itu jantung kembali berhenti sampai 6 kali hingga dengan ketentuan Allah Subhanaahu wa Ta`ala spesialis THT berhasil menghentikan pendarahan tersebut, dan jantungnya kembali berfungsi.
Berlalulah sekarang 3,5 bulan, dan anak tersebut dalam keadaan koma, tidak bergerak. Kemudian setiap kali dia mulai bergerak dia terkena semacam pembengkakan bernanah aneh yang besar di kepalanya, yang aku belum pernah melihat semisalnya. Maka kami katakan kepada sang ibu bahwa putra anda akan meninggal. Jika dia bisa selamat dari kegagalan jantung yang berulang-ulang, maka dia tidak akan bisa selamat dengan adanya semacam pembengkakan di kepalanya. Maka sang ibu berkata: "Alhamdilillah." Kemudian meninggalkanku dan pergi. Setelah itu, kami melakukan usaha untuk merubah keadaan segera dengan melakukan operasi otak dan urat syaraf serta berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Tiga minggu kemudian, dengan karunia Allah Subhanaahu wa Ta`ala , dia tersembuhkan dari pembengkakan tersebut, akan tetapi dia belum bergerak.
Dua minggu kemudian, darahnya terkena racun aneh yang menjadikan suhunya 41,2oC. maka kukatakan kepada sang ibu: "Sesungguhnya otak putra ibu berada dalam bahaya besar, saya kira tidak ada harapan sembuh." Maka dia berkata dengan penuh kesabaran dan keyakinan: "Alhamdulillah, ya Allah, jika pada kesembuhannya terdapat kebaikan, maka sembuhkanlah dia."
Setelah aku kabarkan kepada ibu anak tersebut tentang keadaan putranya yang terbaring di atas ranjang nomor 5, aku pergi ke pasien lain yang terbaring di ranjang nomor 6 untuk menganalisanya. Tiba-tiba ibu pasien nomor 6 tersebut menagis histeris seraya berkata: "Wahai dokter, kemari, wahai dokter suhu badannya 37,6o, dia akan mati, dia akan mati." Maka kukatakan kepadanya dengan penuh heran: "Lihatlah ibu anak yang terbaring di ranjang no 5, suhu badannya 41o lebih sementara dia bersabar dan memuji Allah." Maka berkatalah ibu pasien no. 6 tentang ibu tersebut: "Wanita itu tidak waras dan tidak sadar."
Maka aku mengingat sebuah hadits Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam yang indah lagi agung:
(طُوْبَى لِلْغُرَبَاِء) "Beruntunglah orang-orang yang asing." Sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, akan tetapi keduanya menggoncangkan ummat. Selama 23 tahun bekerja di rumah sakit aku belum pernah melihat dalam hidupku orang sabar seperti ibu ini kecuali dua orang saja.
Selang beberapa waktu setelah itu ia mengalami gagal ginjal, maka kami katakan kepada sang ibu: "Tidak ada harapan kali ini, dia tidak akan selamat." Maka dia menjawab dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah: "Alhamdulillah." Seraya meninggalkanku seperti biasa dan pergi.
Sekarang kami memasuki minggu terakhir dari bulan keempat, dan anak tersebut telah tersembuhkan dari keracunan. Kemudian saat memasuki pada bulan kelima, dia terserang penyakit aneh yang aku belum pernah melihatnya selama hidupku, radang ganas pada selaput pembungkus jantung di sekitar dada yang mencakup tulang-tulang dada dan seluruh daerah di sekitarnya. Dimana keadaan ini memaksaku untuk membuka dadanya dan terpaksa menjadikan jantungnya dalam keadaan terbuka. Sekiranya kami mengganti alat bantu, anda akan melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda..
Saat kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan ini aku berkata kepada sang ibu: "Sudah, yang ini tidak mungkin disembuhkan lagi, aku tidak berharap. Keadaannya semakin gawat." Diapun berkata: "Alhamdulillah." Sebagaimana kebiasaannya, tanpa berkata apapun selainnya.
Kemudian berlalulah 6,5 bulan, anak tersebut keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak berbicara, melihat, mendengar, bergerak dan tertawa. Sementara dadanya dalam keadaan terbuka yang memungkinkan bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda, dan ibunyalah yang membantu mengganti alat-alat bantu di jantung putranya dengan penuh sabar dan berharap pahala.
Apakah anda tahu apa yang terjadi setelah itu?
Sebelum kukabarkan kepada anda, apakah yang anda kira dari keselamatan anak tersebut yang telah melalui segala macam ujian berat, hal gawat, rasa sakit dan beberapa penyakit yang aneh dan kompleks? Menurut anda kira-kira apa yang akan dilakukan oleh sang ibu yang sabar terhadap sang putra di hadapannya yang berada di ambang kubur itu? Kondisi yang dia tidak punya kuasa apa-apa kecuali hanya berdo'a, dan merendahkan diri kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala ?
Tahukah anda apa yang terjadi terhadap anak yang mungkin bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda 2,5 bulan kemudian?
Anak tersebut telah sembuh sempurna dengan rahmat Allah Subhanaahu wa Ta`ala sebagai balasan bagi sang ibu yang shalihah tersebut. Sekarang anak tersebut telah berlari dan dapat menyalip ibunya dengan kedua kakinya, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang pernah menimpanya. Dia telah kembali seperti sedia kala, dalam keadaan sembuh dan sehat.
Kisah ini tidaklah berhenti sampai di sini, apa yang membuatku menangis bukanlah ini, yang membuatku menangis adalah apa yang terjadi kemudian:
Satu setengah tahun setelah anak tersebut keluar dari rumah sakit, salah seorang kawan di bagian operasi mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berserta istri bersama dua orang anak ingin melihat anda. Maka kukatakan kepadanya: "Siapakah mereka?" Dia menjawab, "tidak mengenal mereka."
Akupun pergi untuk melihat mereka, ternyata mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dulu kami operasi. Umurnya sekarang 5 tahun seperti bunga dalam keadaan sehat, seakan-akan tidak pernah terkena apapun, dan juga bersama mereka seorang bayi berumur 4 bulan.
Aku menyambut mereka, dan bertanya kepada sang ayah dengan canda tentang bayi baru yang digendong oleh ibunya, apakah dia anak yang ke-13 atau 14? Diapun melihat kepadaku dengan senyuman aneh, kemudian dia berkata: "Ini adalah anak yang kedua, sedang anak pertama adalah anak yang dulu anda operasi, dia adalah anak pertama yang datang kepada kami setelah 17 tahun mandul. Setelah kami diberi rizki dengannya, dia tertimpa penyakit seperti yang telah anda ketahui sendiri."
Aku tidak mampu menguasai jiwaku, kedua mataku penuh dengan air mata. Tanpa sadar aku menyeret laki-laki tersebut dengan tangannya kemudian aku masukkan ke dalam ruanganku dan bertanya tentang istrinya. Kukatakan kepadanya: "Siapakah istrimu yang mampu bersabar dengan penuh kesabaran atas putranya yang baru datang setelah 17 tahun mandul? Haruslah hatinya bukan hati yang gersang, bahkan hati yang subur dengan keimanan terhadap Allah Subhanaahu wa Ta`ala ."
Tahukah anda apa yang dia katakan?
Diamlah bersamaku wahai saudara-saudariku, terutama kepada anda wahai saudari-saudari yang mulia, cukuplah anda bisa berbangga pada zaman ini ada seorang wanita muslimah yang seperti dia.
Sang suami berkata: "Aku menikahi wanita tersebut 19 tahun yang lalu, sejak masa itu dia tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali dengan udzur syar'i. Aku tidak pernah menyaksikannya berghibah (menggunjing), namimah (adu domba), tidak juga dusta. Jika aku keluar dari rumah atau aku pulang ke rumah, dia membukakan pintu untukku, mendo'akanku, menyambutku, serta melakukan tugas-tugasnya dengan segenap kecintaan, tanggung jawab, akhlak dan kasih sayang."
Sang suami menyempurnakan ceritanya dengan berkata: "Wahai dokter, dengan segenap akhlak dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku, aku tidak mampu untuk membuka satu mataku terhadapnya karena malu." Maka kukatakan kepadanya: "Wanita seperti dia berhak mendapatkan perlakuan darimu seperti itu." Kisah selesai.
Kukatakan:
Saudara-saudariku, kadang anda terheran-heran dengan kisah tersebut, yaitu terheran-heran terhadap kesabaran wanita tersebut, akan tetapi ketahuilah bahwa beriman kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala dengan segenap keimanan dan tawakkal kepada-Nya dengan sepenuhnya, serta beramal shalih adalah perkara yang mengokohkan seorang muslim saat dalam kesusahan, dan ujian. Kesabaran yang demikian adalah sebuah taufik dan rahmat dari Allah Subhanaahu wa Ta`ala .
Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧)
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 155-157)
Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَحُزْنٍ وَلاَ أَذىً وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا خَطاَيَاهُ
"Tidaklah menimpa seorang muslim dari keletihan, sakit, kecemasan, kesedihan tidak juga gangguan dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah Subhanaahu wa Ta`ala akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (HR. al-Bukhari (5/2137))
Maka, wahai saudara-saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala , minta dan berdo'alah hanya kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala terhadap berbagai kebutuhan anda sekalian.
Bersandarlah kepada-Nya dalam keadaan senang dan susah. Sesungguhnya Dia Subhanaahu wa Ta`ala adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.
Mudah-mudahan Allah Subhanaahu wa Ta`ala membalas anda sekalian dengan kebaikan, serta janganlah melupakan kami dari do'a-do'a kalian.
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ (١٢٦)
"Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)." (QS. Al-A'raf: 126) (AR)*
Sumber: Majalah Qiblati edisi 1 th. III
Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Dari Kaset Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan)
Kamis, 27 Oktober 2011
Kisah Gadis Kecil Yang Shalihah
Aku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya.
Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:
Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.
Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut.
Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma'ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.
Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.
Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:
Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: "Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!"
Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: "Mama, aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam." Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.
Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.
Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?
Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: "Sakit ringan di kakiku." Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: "Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah." Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.
Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.
Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata: "Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah." Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: "Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku."
Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!
Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!
Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.
Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: "Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku."
Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau seorang muslimah?" Dia menjawab: "Tidak."
Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.
Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: "Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?" Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: "Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna." Temanku tersebut berkata: "Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati."
Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!
Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.
Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu` dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!
Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.
Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.
Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: "Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat." Kukatakan: "(Mimpi) yang baik Insya Allah." Dia berkata: "Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi."
Akupun bertanya kepadanya: "Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut." Dia menjawab: "Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku." Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.
Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: "Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu." Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: "Aku ingin mencium pipimu yang kedua." Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: "Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah."
Maka dia berkata: "Asyhadu alla ilaaha illallah."
Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallaah." Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah." Dan keluarlah rohnya.
Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil 'aalamin. (AR)*
Sumber: Majalah Qiblati edisi 4 Tahun 3
Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:
Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.
Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut.
Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma'ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.
Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.
Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:
Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: "Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!"
Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: "Mama, aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam." Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.
Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.
Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?
Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: "Sakit ringan di kakiku." Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: "Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah." Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.
Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.
Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata: "Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah." Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: "Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku."
Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!
Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!
Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.
Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: "Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku."
Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau seorang muslimah?" Dia menjawab: "Tidak."
Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.
Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: "Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?" Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: "Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna." Temanku tersebut berkata: "Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati."
Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!
Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.
Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu` dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!
Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.
Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.
Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: "Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat." Kukatakan: "(Mimpi) yang baik Insya Allah." Dia berkata: "Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi."
Akupun bertanya kepadanya: "Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut." Dia menjawab: "Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku." Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.
Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: "Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu." Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: "Aku ingin mencium pipimu yang kedua." Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: "Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah."
Maka dia berkata: "Asyhadu alla ilaaha illallah."
Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallaah." Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah." Dan keluarlah rohnya.
Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil 'aalamin. (AR)*
Sumber: Majalah Qiblati edisi 4 Tahun 3
Karena Do’a, Si Buta Yang Papa Mendapatkan Wanita Yang Sangat Cantik Jelita
Kisah ajaib ini, terjadi pada seorang buta lagi miskin yang dicampakkan oleh kaum wanita. Lalu dia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah pun mengabulkan do’anya dengan gadis yang paling cantik di antara mereka. Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz al-‘Aql dalam muhadarahnya yang berjudul Qashash wa ‘Ibar. Kisah nyata ini terjadi pada salah seorang kerabat Syaikh sendiri.
Syaikh Abdul Aziz mengatakan, “Diantara kisah yang pernah saya alami adalah seseorang dari famili saya yang hafal al-Qur’an, dan yang shalih. Saya mengenalnya dan kami mencintainya ketika kami masih kanak-kanak. Orang tadi ahli bersilaturahim dan selalu beristiqamah untuk taat kepada Allah. Dan dia adalah orang yang buta. Pada suatu hari, dia berkata kepada saya, “Hai anakku -waktu itu saya berumur 16 atau 17 tahun- kenapa kamu tidak menikah?” Saya jawab, “Hingga Allah memberi saya rizqi.” Dia berkata, “Wahai putraku, bersikap jujurlah kepada Allah, ketuklah pintu Allah, dan berharaplah, pintu kelapangan akan terbuka.” Kemudian dia berkata kepada saya, “Duduklah wahai putraku, aku akan menceritakan kepadamu, apa yang pernah aku alami dulu.”
Dia melanjutkan, “Saya dulu benar-benar miskin, ibu dan bapakku adalah orang miskin, kami semua sangat miskin, aku sendiri semenjak dilahirkan sudah menjadi orang yang buta, pendek dan papa. Segala sifat yang tidak disukai wanita ada padaku. Kemudian aku sangat menginginkan seorang wanita, akan tetapi kepada Allah aku tumpahkan seluruh keprihatinanku, karena dengan kondisiku yang seperti itu, akan sulit rasanya untuk mendapatkan seorang istri. Aku mendatangi ayahku kemudian mengatakan, “Wahai ayah, aku ingin menikah.” Maka ayahku mentertawakanku. Aku memahami bahwa tertawanya ayah adalah sebagai isyarat agar aku berputus asa dan melupakan keinginanku untuk menikah bahkan ayahku sempat mengatakan, “Apakah engkau gila nak? Siapa yang mau mengambilmu sebagai menantu? Pertama, kamu buta. Kedua, kita semua adalah orang yang sangat miskin. Sadarlah nak! Tidak ada jalan untuk itu.
Sebenarnya, dengan kata-katanya itu ayah telah membunuhku. Waktu itu aku berumur kira-kira 24 atau 25 tahun. Lalu akupun pergi menemui ibuku. Mengadukan perihalku, barangkali ia dapat membujuk ayahku. Hampir saja aku menangis, ketika ibuku juga mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan oleh ayah. Dia mengatakan, “Anakku, kamu akan nikah?! Apakah kamu tidak waras nak?! Siapa wanita yang mau sama kamu?! Daimana kamu mendapatkan harta?! Kamu tahu sendiri, bahwa kita semuanya ini sangat membutuhkan sedikit harta untuk bertahan hidup. Kemudian kamu juga jangan lupa, bahwa hutang kita telah menumpuk.” Aku tidak berputus asa, kuulangi lagi usahaku untuk memahamkan ayah dan ibuku. Akan tetapi sikap dan jawaban mereka tetap tidak berubah. Pada suatu malam, aku berkata, “Mengapa aku tidak mengadukan hal ini pada Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang? Mengapa aku merengek-rengek dihadapan ayah dan ibu yang memang tidak mampu melakukan apa-apa? Mengapa aku tidak mengetuk pintu ilahi yang Maha Kuasa dan Perkasa?” Lalu akupun shalat diakhir malam sebagaimana kebiasaanku. Aku mengangkat tangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku katakan diantara do’aku,
Ya Allah, ya Tuhanku, mereka mengatakan kalau aku miskin padahal Engkaulah yang membuat aku miskin. Mereka mengatakan kalau aku buta, padahal Engkaulah yang mengambil penglihatanku. Mereka mengatakan kalau aku adalah jelek dan buruk, padahal Engkaulah yang menciptakan aku. Ilahi, Tuhanku, Tuanku dan Penolongku, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, Engkau mengetahui apa yang ada didalam jiwaku. Engkau mengetahui keinginanku untuk menikah, dan aku tidak ada daya dan upaya untuk itu. Ayah dan ibuku menyatakan tidak sanggup. Ya Allah, mereka memang tidak sanggup dan tidak mampu. Aku memahami kondisi mereka. Tetapi Engkau adalah Maha Mulia dan Perkasa yang tidak terkalahkan oleh apapun. Ilahi, kumohon satu rahmat dari rahmat-Mu. Wahai Tuhan yang Maha Mulia, Maha Pengasih dan Penyayang, berikanlah kepadaku dengan segera seorang istri yang penuh berkah, shalihah, dan cantik jelita. Yang menenangkan hatiku dan yang menyatukan jiwaku.
Aku berdo’a sementara kedua mataku, mengucurkan air mata dan hatiku menangis merendah dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena aku shalat malam diawal waktu, maka akupun mengantuk. Ketika aku tertidur, aku bermimpi seolah-olah aku berada disebuah tempat yang sangat panas. Sepertinya ada kobaran api yang sangat dahsyat. Tidak lama setelah itu, aku melihat ada satu kemah yang turun dari langit. Kemah yang sangat indah mempesona, belum pernah aku melihat sebelumnya. Hingga kemah itupun turun diatasku dan memayungiku. Bersamaan dengan itu, ada hawa dingin yang aku tidak mampu menceritakannya karena benar-benar membawa sebuah kedamaian, hingga aku terbangun karena kedinginan setelah merasa kepanasan yang amat sangat. Aku terbangun dan perasaanku sangat senang dengan mimpi tersebut. Dipagi yang buta aku pergi menemui seorang alim yang dapat menafsiri mimpi.
Maka setelah aku ceritakan apa yang kualami dalam mimpi itu, seorang alim tersebut mengatakan kepadaku, “Hai anakku, engkau sudah menikah, jika tidak, mengapa kamu tidak menikah?” Maka saya katakan, “Tidak, demi Allah saya belum menikah.” Dia bertanya, “Mengapa engkau tidak menikah?” Kukatakan, “Demi Allah Ya Syaikh, seperti yang engku ketahui, aku adalah seorang yang buta lagi miskin, dan buruk rupa.” Dia berkata, “Hai anakku, apakah tadi malam engkau telah mengetuk pintu Tuhan mu?” Kukatakan, “Ya, aku telah mengetuk pintu Tuhan ku.” Syaikh berkata, “Pergilah wahai putraku, perhatikanlah gadis yang paling cantik dalam benakmu dan pinanglah, karena pintu itu telah terbuka untukmu. Ambillah yang terbaik apa yang ada dalam dirimu dan jangan merasa rendah dengan mengatakan, “Aku adalah seorang yang buta, maka aku akan mencari wanita yang buta pula, jika tidak maka yang begini, dan yang begitu. Tetapi perhatikanlah gadis yang terbaik, karena pintu itu telah dibuka untukmu.”
Setelah aku berfikir dalam diriku, aku memilih gadis yang dikenal sebagai gadis yang paling cantik di daerah itu disamping memiliki nasab dan keluarga yang terhormat. Maka aku mendatangi ayah, kukatakan barangkali ayah mau pergi kepada mereka guna meminang gadis itu untukku. Ayah menolak dengan keras, lebih keras dari penolakannya yang pertama. Dia benar-benar menolak secara mentah-mentah mengingat rupaku yang buruk dan kemelaratanku, apalagi gadis yang kuinginkan adalah gadis yang paling cantik di negeri itu. Maka aku pergi sendiri. Aku bertamu kepada keluarga itu, mengucapkan salam kepada mereka dan mengatakan kepada orang tuanya, “Saya menginginkan Fulanah (maksudnya putrinya).” Dia menjawab, “Kamu menginginkan putriku?” Saya jawab, “Ya.” Maka dia menjawab, “Demi Allah, ahlan wasahlan, wahai putra Fulan, selamat datang wahai pembawa Al-Qur’an, demi Allah hai putraku, kami tidak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darimu, akan tetapi aku berharap agar putriku mau menerimanya.” Kemudian ia pergi menuju putrinya dan mengatakan, “Wahai putriku, ini Fulan datang meminangmu. Memang dia buta akan tetapi dia hafal Al-Qur’an, dia menyimpan Al-Qur’an di dalam dadanya. Apabila engkau dapat merelakannya untukmu, maka tawakkallah kepada Allah.” Sang putripun menjawab, “Sesudahmu, tidak ada hal lain wahai ayah, kami bertawakkal kepada Allah.”
Selang sepekan setelah itu, wanita cantik itupun menjadi istri bagi si buta yang miskin dengan taufik Allah dan kemudahan dariNya karena keutamaan Al-Qur’an. Walhamdulillahirabbil ‘alamin.
Sumber:(Majalah Qiblati Edisi 6 Tahun 1)
Syaikh Abdul Aziz mengatakan, “Diantara kisah yang pernah saya alami adalah seseorang dari famili saya yang hafal al-Qur’an, dan yang shalih. Saya mengenalnya dan kami mencintainya ketika kami masih kanak-kanak. Orang tadi ahli bersilaturahim dan selalu beristiqamah untuk taat kepada Allah. Dan dia adalah orang yang buta. Pada suatu hari, dia berkata kepada saya, “Hai anakku -waktu itu saya berumur 16 atau 17 tahun- kenapa kamu tidak menikah?” Saya jawab, “Hingga Allah memberi saya rizqi.” Dia berkata, “Wahai putraku, bersikap jujurlah kepada Allah, ketuklah pintu Allah, dan berharaplah, pintu kelapangan akan terbuka.” Kemudian dia berkata kepada saya, “Duduklah wahai putraku, aku akan menceritakan kepadamu, apa yang pernah aku alami dulu.”
Dia melanjutkan, “Saya dulu benar-benar miskin, ibu dan bapakku adalah orang miskin, kami semua sangat miskin, aku sendiri semenjak dilahirkan sudah menjadi orang yang buta, pendek dan papa. Segala sifat yang tidak disukai wanita ada padaku. Kemudian aku sangat menginginkan seorang wanita, akan tetapi kepada Allah aku tumpahkan seluruh keprihatinanku, karena dengan kondisiku yang seperti itu, akan sulit rasanya untuk mendapatkan seorang istri. Aku mendatangi ayahku kemudian mengatakan, “Wahai ayah, aku ingin menikah.” Maka ayahku mentertawakanku. Aku memahami bahwa tertawanya ayah adalah sebagai isyarat agar aku berputus asa dan melupakan keinginanku untuk menikah bahkan ayahku sempat mengatakan, “Apakah engkau gila nak? Siapa yang mau mengambilmu sebagai menantu? Pertama, kamu buta. Kedua, kita semua adalah orang yang sangat miskin. Sadarlah nak! Tidak ada jalan untuk itu.
Sebenarnya, dengan kata-katanya itu ayah telah membunuhku. Waktu itu aku berumur kira-kira 24 atau 25 tahun. Lalu akupun pergi menemui ibuku. Mengadukan perihalku, barangkali ia dapat membujuk ayahku. Hampir saja aku menangis, ketika ibuku juga mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan oleh ayah. Dia mengatakan, “Anakku, kamu akan nikah?! Apakah kamu tidak waras nak?! Siapa wanita yang mau sama kamu?! Daimana kamu mendapatkan harta?! Kamu tahu sendiri, bahwa kita semuanya ini sangat membutuhkan sedikit harta untuk bertahan hidup. Kemudian kamu juga jangan lupa, bahwa hutang kita telah menumpuk.” Aku tidak berputus asa, kuulangi lagi usahaku untuk memahamkan ayah dan ibuku. Akan tetapi sikap dan jawaban mereka tetap tidak berubah. Pada suatu malam, aku berkata, “Mengapa aku tidak mengadukan hal ini pada Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang? Mengapa aku merengek-rengek dihadapan ayah dan ibu yang memang tidak mampu melakukan apa-apa? Mengapa aku tidak mengetuk pintu ilahi yang Maha Kuasa dan Perkasa?” Lalu akupun shalat diakhir malam sebagaimana kebiasaanku. Aku mengangkat tangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku katakan diantara do’aku,
Ya Allah, ya Tuhanku, mereka mengatakan kalau aku miskin padahal Engkaulah yang membuat aku miskin. Mereka mengatakan kalau aku buta, padahal Engkaulah yang mengambil penglihatanku. Mereka mengatakan kalau aku adalah jelek dan buruk, padahal Engkaulah yang menciptakan aku. Ilahi, Tuhanku, Tuanku dan Penolongku, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, Engkau mengetahui apa yang ada didalam jiwaku. Engkau mengetahui keinginanku untuk menikah, dan aku tidak ada daya dan upaya untuk itu. Ayah dan ibuku menyatakan tidak sanggup. Ya Allah, mereka memang tidak sanggup dan tidak mampu. Aku memahami kondisi mereka. Tetapi Engkau adalah Maha Mulia dan Perkasa yang tidak terkalahkan oleh apapun. Ilahi, kumohon satu rahmat dari rahmat-Mu. Wahai Tuhan yang Maha Mulia, Maha Pengasih dan Penyayang, berikanlah kepadaku dengan segera seorang istri yang penuh berkah, shalihah, dan cantik jelita. Yang menenangkan hatiku dan yang menyatukan jiwaku.
Aku berdo’a sementara kedua mataku, mengucurkan air mata dan hatiku menangis merendah dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena aku shalat malam diawal waktu, maka akupun mengantuk. Ketika aku tertidur, aku bermimpi seolah-olah aku berada disebuah tempat yang sangat panas. Sepertinya ada kobaran api yang sangat dahsyat. Tidak lama setelah itu, aku melihat ada satu kemah yang turun dari langit. Kemah yang sangat indah mempesona, belum pernah aku melihat sebelumnya. Hingga kemah itupun turun diatasku dan memayungiku. Bersamaan dengan itu, ada hawa dingin yang aku tidak mampu menceritakannya karena benar-benar membawa sebuah kedamaian, hingga aku terbangun karena kedinginan setelah merasa kepanasan yang amat sangat. Aku terbangun dan perasaanku sangat senang dengan mimpi tersebut. Dipagi yang buta aku pergi menemui seorang alim yang dapat menafsiri mimpi.
Maka setelah aku ceritakan apa yang kualami dalam mimpi itu, seorang alim tersebut mengatakan kepadaku, “Hai anakku, engkau sudah menikah, jika tidak, mengapa kamu tidak menikah?” Maka saya katakan, “Tidak, demi Allah saya belum menikah.” Dia bertanya, “Mengapa engkau tidak menikah?” Kukatakan, “Demi Allah Ya Syaikh, seperti yang engku ketahui, aku adalah seorang yang buta lagi miskin, dan buruk rupa.” Dia berkata, “Hai anakku, apakah tadi malam engkau telah mengetuk pintu Tuhan mu?” Kukatakan, “Ya, aku telah mengetuk pintu Tuhan ku.” Syaikh berkata, “Pergilah wahai putraku, perhatikanlah gadis yang paling cantik dalam benakmu dan pinanglah, karena pintu itu telah terbuka untukmu. Ambillah yang terbaik apa yang ada dalam dirimu dan jangan merasa rendah dengan mengatakan, “Aku adalah seorang yang buta, maka aku akan mencari wanita yang buta pula, jika tidak maka yang begini, dan yang begitu. Tetapi perhatikanlah gadis yang terbaik, karena pintu itu telah dibuka untukmu.”
Setelah aku berfikir dalam diriku, aku memilih gadis yang dikenal sebagai gadis yang paling cantik di daerah itu disamping memiliki nasab dan keluarga yang terhormat. Maka aku mendatangi ayah, kukatakan barangkali ayah mau pergi kepada mereka guna meminang gadis itu untukku. Ayah menolak dengan keras, lebih keras dari penolakannya yang pertama. Dia benar-benar menolak secara mentah-mentah mengingat rupaku yang buruk dan kemelaratanku, apalagi gadis yang kuinginkan adalah gadis yang paling cantik di negeri itu. Maka aku pergi sendiri. Aku bertamu kepada keluarga itu, mengucapkan salam kepada mereka dan mengatakan kepada orang tuanya, “Saya menginginkan Fulanah (maksudnya putrinya).” Dia menjawab, “Kamu menginginkan putriku?” Saya jawab, “Ya.” Maka dia menjawab, “Demi Allah, ahlan wasahlan, wahai putra Fulan, selamat datang wahai pembawa Al-Qur’an, demi Allah hai putraku, kami tidak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darimu, akan tetapi aku berharap agar putriku mau menerimanya.” Kemudian ia pergi menuju putrinya dan mengatakan, “Wahai putriku, ini Fulan datang meminangmu. Memang dia buta akan tetapi dia hafal Al-Qur’an, dia menyimpan Al-Qur’an di dalam dadanya. Apabila engkau dapat merelakannya untukmu, maka tawakkallah kepada Allah.” Sang putripun menjawab, “Sesudahmu, tidak ada hal lain wahai ayah, kami bertawakkal kepada Allah.”
Selang sepekan setelah itu, wanita cantik itupun menjadi istri bagi si buta yang miskin dengan taufik Allah dan kemudahan dariNya karena keutamaan Al-Qur’an. Walhamdulillahirabbil ‘alamin.
Sumber:(Majalah Qiblati Edisi 6 Tahun 1)
Selasa, 25 Oktober 2011
Kisah Penjaga Kebun Buah-buahan
Alkisah ada seorang penjaga kebun buah-buahan bernama Mubarok. Dia adalah orang jujur dan amanah. Sudah bertahun-tahun ia bekerja di kebun tersebut.
Suatu hari majikannya, sang pemiliki kebun, datang mengunjungi kebunnya. Ia sedang mengalami masalah yang pelik dan sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Putrinya yang sudah beranjak dewasa tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan banyak pria yang ingin mempersuntingnya.
Yang menjadi permasalahan baginya adalah semua laki-laki yang ingin mempersunting putrinya adalah kerabat dan teman dekatnya. Ia harus memilih salah satu dari mereka, tetapi ia khawatir jika menyinggung bagi kerabat yang tidak terpilih.
Sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia mencoba mencicipi hasil kebunnya. Dipanggillah Mubarok, penjaga kebun itu.
"Hai Mubarok, kemarilah! Tolong ambilkan saya buah yang manis!" perintahnya.
Dengan sigap Mubarok segera memetik buah-buahan yang diminta, kemudian diberikan kepada majikannya.
Ketika buah tersebut dimakan sang majikan, ternyata rasanya masam sekali. Majikan Mubarok berkata, "Wahai Mubarok! Buah ini masam sekali! Berikan saya buah yang manis!" pinta sang majikan lagi.
Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih terasa masam. Sang majikan terheran-heran, sudah sekian lama ia mempekerjakan Mubarok, tetapi mengapa si penjaga kebun ini tidak mampu membedakan antara buah masam dan manis? Ah, mungkin dia lupa, pikir sang majikan. Dimintanya Mubarok untuk memetikkan kembali buah yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa masam.
Rasa penasaran timbul dari sang majikan. Dipanggillah Mubarok, "Bukankah kau sudah lama bekerja di sini? Mengapa kamu tidak tahu buah yang manis dan masam?" tanya sang majikan.
Mubarok menjawab, "Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-buahan yang tumbuh di kebun ini karena saya tidak pernah mencicipinya!"
"Aneh, bukankah amat mudah bagimu untuk memetik buah-buahan di sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?" tanya majikannya.
"Saya tidak akan memakan sesuatu yang belum jelas kehalalannya bagiku. Buah-buahan itu bukan milikku, jadi aku tidak berhak untuk memakannya sebelum memperoleh izin dari pemiliknya," jelas Mubarok.
Sang majikan terkejut dengan penjelasan penjaga kebunnya tersebut. Dia tidak lagi memandang Mubarok sebatas tukang kebun, melainkan sebagai seseorang yang jujur dan tinggi kedudukannya di mata Allah SWT. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.
Mulailah sang majikan bercerita tentang lamaran kerabat dan teman-teman dekatnya kepada putrinya. Ia mengakhiri ceritanya dengan bertanya kepada Mubarok, "Menurutmu, siapakah yang pantas menjadi pendamping putriku?"
Mubarok menjawab, "Dulu orang-orang jahiliah mencarikan calon suami untuk putri-putri mereka berdasarkan keturunan. Orang Yahudi menikahkan putrinya berdasarkan harta, sementara orang Nasrani menikahkan putrinya berdasarkan keelokan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik-baiknya umat adalah yang menikahkan karena agamanya."
Sang majikan langsung tersadar akan kekhilafannya. Mubarok benar, mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islamlah solusi atas semua problematika umat manusia.
Ia pulang dan memberitakan seluruh kejadian tadi kepada istrinya. "Menurutku Mobaroklah yang pantas menjadi pendamping putri kita," usulnya kepada sang istri. Tanpa perdebatan panjang, sang istri langsung menyetujuinya.
Pernikahan bahagia dilangsungkan. Dari keduanya lahirlah seorang anak bernama Abdullah bin Mubarok. Ia adalah seorang ulama, ahli hadis, dan mujahid. Ya, pernikahan yang dirahmati Allah SWT dari dua insan yang taat beribadah, insya Allah, akan diberi keturunan yang mulia.
Suatu hari majikannya, sang pemiliki kebun, datang mengunjungi kebunnya. Ia sedang mengalami masalah yang pelik dan sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Putrinya yang sudah beranjak dewasa tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan banyak pria yang ingin mempersuntingnya.
Yang menjadi permasalahan baginya adalah semua laki-laki yang ingin mempersunting putrinya adalah kerabat dan teman dekatnya. Ia harus memilih salah satu dari mereka, tetapi ia khawatir jika menyinggung bagi kerabat yang tidak terpilih.
Sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia mencoba mencicipi hasil kebunnya. Dipanggillah Mubarok, penjaga kebun itu.
"Hai Mubarok, kemarilah! Tolong ambilkan saya buah yang manis!" perintahnya.
Dengan sigap Mubarok segera memetik buah-buahan yang diminta, kemudian diberikan kepada majikannya.
Ketika buah tersebut dimakan sang majikan, ternyata rasanya masam sekali. Majikan Mubarok berkata, "Wahai Mubarok! Buah ini masam sekali! Berikan saya buah yang manis!" pinta sang majikan lagi.
Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih terasa masam. Sang majikan terheran-heran, sudah sekian lama ia mempekerjakan Mubarok, tetapi mengapa si penjaga kebun ini tidak mampu membedakan antara buah masam dan manis? Ah, mungkin dia lupa, pikir sang majikan. Dimintanya Mubarok untuk memetikkan kembali buah yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa masam.
Rasa penasaran timbul dari sang majikan. Dipanggillah Mubarok, "Bukankah kau sudah lama bekerja di sini? Mengapa kamu tidak tahu buah yang manis dan masam?" tanya sang majikan.
Mubarok menjawab, "Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-buahan yang tumbuh di kebun ini karena saya tidak pernah mencicipinya!"
"Aneh, bukankah amat mudah bagimu untuk memetik buah-buahan di sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?" tanya majikannya.
"Saya tidak akan memakan sesuatu yang belum jelas kehalalannya bagiku. Buah-buahan itu bukan milikku, jadi aku tidak berhak untuk memakannya sebelum memperoleh izin dari pemiliknya," jelas Mubarok.
Sang majikan terkejut dengan penjelasan penjaga kebunnya tersebut. Dia tidak lagi memandang Mubarok sebatas tukang kebun, melainkan sebagai seseorang yang jujur dan tinggi kedudukannya di mata Allah SWT. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.
Mulailah sang majikan bercerita tentang lamaran kerabat dan teman-teman dekatnya kepada putrinya. Ia mengakhiri ceritanya dengan bertanya kepada Mubarok, "Menurutmu, siapakah yang pantas menjadi pendamping putriku?"
Mubarok menjawab, "Dulu orang-orang jahiliah mencarikan calon suami untuk putri-putri mereka berdasarkan keturunan. Orang Yahudi menikahkan putrinya berdasarkan harta, sementara orang Nasrani menikahkan putrinya berdasarkan keelokan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik-baiknya umat adalah yang menikahkan karena agamanya."
Sang majikan langsung tersadar akan kekhilafannya. Mubarok benar, mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islamlah solusi atas semua problematika umat manusia.
Ia pulang dan memberitakan seluruh kejadian tadi kepada istrinya. "Menurutku Mobaroklah yang pantas menjadi pendamping putri kita," usulnya kepada sang istri. Tanpa perdebatan panjang, sang istri langsung menyetujuinya.
Pernikahan bahagia dilangsungkan. Dari keduanya lahirlah seorang anak bernama Abdullah bin Mubarok. Ia adalah seorang ulama, ahli hadis, dan mujahid. Ya, pernikahan yang dirahmati Allah SWT dari dua insan yang taat beribadah, insya Allah, akan diberi keturunan yang mulia.
Sabtu, 22 Oktober 2011
Kisah Penjual Susu
Di malam yang pekat dan angin dingin semilir menusuk, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab sedang menelusuri kota Medinah melalui lorong demi lorong. Di saat seluruh penduduk kota terlelap, sang khalifah tetap terjaga mendatangi satu demi satu rumah untuk mengetahui kondisi rakyatnya.
Ia sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi.
Malam makin larut hingga tibalah fajar menyingsing. Ketika hendak beranjak ke masjid, langkahnya tertahan di depan sebuah gubuk reot. Dari dalam gubuk itu terdengar percakapan lirih antara seorang ibu dan putrinya. Dari percakapan itu ternyata mereka adalah penjual susu kambing yang akan menjual hasil perahannya di pasar pagi itu.
"Nak, campurlah susu itu dengan air," pinta sang ibu kepada putrinya. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
Putrinya menjawab, "Maaf, Bu, tidak mungkin aku melakukannya. Amirul Mukminin tidak membolehkan untuk mencampur susu dengan air, kemudian menjualnya," tolak putrinya dengan halus.
Sang ibu tetap bersikukuh, "Itu suatu hal yang lumrah, Nak. Semua orang melakukannya. Lagi pula Amirul Mukminin tidak akan mengetahuinya," bujuk sang ibu lagi.
"Bu, boleh jadi Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, tetapi Allah SWT Maha Melihat dan Mengetahui!" jawab sang putri salehah.
Haru dan bahagia membuncah di dada Amirul Mukminin. Betapa ia kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi begitu kaya hatinya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Usai melaksanakan shalat di masjid, Umar bin Khaththab segera memangil putranya yang bernama 'Ashim. Beliau segera memerintahkan 'Ashim untuk melamar putri penjual susu yang jujur tersebut karena memang sudah saatnya 'Ashim untuk berumah tangga. Tidak lupa Amirul Mukminin menceritakan keluhuran hati gadis penghuni gubuk reot tersebut kepada putranya.
"Aku melihat dia akan membawa berkah untukmu kelak jika kamu mempersuntingnya menjadi istrimu. Pergilah dan temui mereka, lamarlah dia untuk menjadi pendampingmu. Semoga kalian dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat kelak!" ujar Umar bin Khaththab kepada putranya, 'Ashim.
Akhirnya, 'Ashim menikahi gadis berhati suci itu dan lahirlah seorang putri bernama Laila. Ia tumbuh menjadi gadis yang taat beribadah dan cerdas. Saat dewasa, Laila dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin besar yang disegani. Dia mewarisi keagungan akhlak neneknya dan kepemimpinan buyutnya, Umar bin Khaththab.
Ia sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi.
Malam makin larut hingga tibalah fajar menyingsing. Ketika hendak beranjak ke masjid, langkahnya tertahan di depan sebuah gubuk reot. Dari dalam gubuk itu terdengar percakapan lirih antara seorang ibu dan putrinya. Dari percakapan itu ternyata mereka adalah penjual susu kambing yang akan menjual hasil perahannya di pasar pagi itu.
"Nak, campurlah susu itu dengan air," pinta sang ibu kepada putrinya. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
Putrinya menjawab, "Maaf, Bu, tidak mungkin aku melakukannya. Amirul Mukminin tidak membolehkan untuk mencampur susu dengan air, kemudian menjualnya," tolak putrinya dengan halus.
Sang ibu tetap bersikukuh, "Itu suatu hal yang lumrah, Nak. Semua orang melakukannya. Lagi pula Amirul Mukminin tidak akan mengetahuinya," bujuk sang ibu lagi.
"Bu, boleh jadi Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, tetapi Allah SWT Maha Melihat dan Mengetahui!" jawab sang putri salehah.
Haru dan bahagia membuncah di dada Amirul Mukminin. Betapa ia kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi begitu kaya hatinya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Usai melaksanakan shalat di masjid, Umar bin Khaththab segera memangil putranya yang bernama 'Ashim. Beliau segera memerintahkan 'Ashim untuk melamar putri penjual susu yang jujur tersebut karena memang sudah saatnya 'Ashim untuk berumah tangga. Tidak lupa Amirul Mukminin menceritakan keluhuran hati gadis penghuni gubuk reot tersebut kepada putranya.
"Aku melihat dia akan membawa berkah untukmu kelak jika kamu mempersuntingnya menjadi istrimu. Pergilah dan temui mereka, lamarlah dia untuk menjadi pendampingmu. Semoga kalian dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat kelak!" ujar Umar bin Khaththab kepada putranya, 'Ashim.
Akhirnya, 'Ashim menikahi gadis berhati suci itu dan lahirlah seorang putri bernama Laila. Ia tumbuh menjadi gadis yang taat beribadah dan cerdas. Saat dewasa, Laila dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin besar yang disegani. Dia mewarisi keagungan akhlak neneknya dan kepemimpinan buyutnya, Umar bin Khaththab.
Jumat, 21 Oktober 2011
Kisah Khalid bin Walid (Pedang ALLAH)
Perang Uhud dan Perang Muktah adalah dua keadaan yang berbeza sebagaimana berbezanya peribadi Khalid bin Al-Walid. Dalam perang Uhud, beliau adalah panglima Quraisy yang berjaya mengalahkan mujahid-mujahid Islam tetapi perang Muktah menampakkan penampilan Khalid Al-Walid yang baru….Beliau adalah hero penyelamat di saat ambang kekalahan tentera Islam, ini membuktikan bahawa beliau memang layak dikurniakan anugerah tertinggi panglima tentera iaitu anugerah 'Pedang Allah'
Semasa belum memeluk Islam, beliau adalah musuh Islam yang paling digeruni di medan perang kerana strategi perangnya yang hebat di mana umat Islam telah mendapat pengajaran yang cukup hebat ketika perang Uhud dahulu.
Khalid al-Walid telah memeluk Islam pada bulan Safar tahun 8H bersama-sama Uthman b Talhah dan Amru b Al-As. Setelah itu, beliau adalah pahlawan yang berjuang menentang orang-orang yang menentang Rasulullah SAW.
Berbicara tentang Khalid, tentunya tidak lengkap kalau tidak menceritakan tentang peristiwa dalam peperangan Muktah yang memang terkenal itu.
Dalam Perang Muktah, tentera Islam yang sedikit bilangannya telah berdepan dengan lebih kurang 200,000 orang tentera Rom. Dalam pertempuran tersebut, tentera Islam telah mendapat tentangan yang cukup dahsyat nyaris-nyaris menerima kekalahan. Bendera Islam telah dipegang oleh Zaid b Harithah yang kemudiannya gugur syahid, diambilalih pula oleh Jaafar bin Abu Thalib. Beliau turut syahid, maka bendera tadi dipegang oleh Abdullah bin Rawahah yang juga gugur sebagai syuhada'. Lantas bendera bertukartangan kepada Thabit bin Arqam dan menyerahkannya kepada Khalid al-Walid. Atas persetujuan ramai, maka Khalid al-Walidpun menjadi komandan perang dan terus mengarahkan tentera Islam berundur ke Madinah kerana sudah terlalu ramai yang syahid dan tentera yang tinggal tidak mampu untuk bertahan lagi.
Di zaman Khalifah Abu Bakar, Khalid ditugaskan untuk mengahpuskan golongan murtad. Saidina Abu Bakar telah memberi pidato semangat kepada tentera Islam yang antara lainnya berbunyi :"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Sebaik-baik hamba Allah dan saudara dalam satu suku iaitu Khalid b Al-Walid, Saifullah, yang pedangnya akan dihayunkan kepada orang-orang kafir dan munafik"
Beliau juga ditugaskan untuk membunuh Musailamah Al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi dan mempunyai ramai pengikutnya. Dalam peperangan tersebut (Perang Yamamah), ramai tentera Islam yang terkorban. Khalid All-Walid sebagai pahlawan sejati yang pakar dalam strategi peperangan telah berjaya memberi semangat baru kepada tenteranya dengan ucapannya yang penuh karisma. Beliau berteriak kepada tenteranya : "Bergembiralah kerana kami akan melihat setiap orang akan mengalami bencana masing-masing"
Dalam Perang Yarmuk menentang tentera Rom, beliau telah berjumpa dengan panglima musuh yang bernama Mahan yang dengan angkuhnya merendah-rendahkan moral tentera Islam. Mahan telah berkata : "Aku tahu kamu semua meninggalkan tanah air kerana terpaksa dan kelaparan. Jika kamu semua setuju, aku akan berikan setiap seorang tentera 10 dinar beserta dengan pakaian dan makanan dengan syarat mereka berangkat pulang dan tahun depan jumlah yang serupa akan dihantar ke Madinah".
Khalid b Al-Walid dengan tegasnya menjawab : "Kami tidak akan keluar dari negeri kami kerana kelaparan seperti yang engkau sangkakan. Tetapi kami ialah satu kaum yang suka minum darah dan kami tahu tidak ada darah yang lebih lazat dan nikmat seperti darah orang Romawi, sebab itulah kami ke mari"
Setelah itu, Khalid Al-Walid selaku komandan perang beerteriak dengan kuatnya sambil bertakbir "Allahu Akbar" "Marilah kita berebut-rebut mencium bau Syurga". Maka terjadilah peperangan yang amat dahsyat. Anak panah bersimpang siur dan mayat bergelimpangan.
Tiba-tiba seorang tentera Islam menghampiri Abu Ubaidah b al-Jarrah r.a.sambil berkata : "Sesungguhnya aku bercita-cita untuk mati syahid, adakah engkau mempunyai sebarang pesanan yang hendak disampaikan kepada Rasulullah SAW, kelak aku akan sampaikan kepada baginda ketika aku berjumpanya (di Syurga)"
Jawab Abu Ubaidah b al-Jarrah r.a : "Ya ! Katakan kepadanya : "Wahai Rasulullah SAW ! Sesungguhnya kami telah dapati bahawa apa yang dijanjikan oleh Tuhan Kami (Allah) adalah benar". Lalu tentera tadi bertempur dengan hebatnya dan gugur sebagai syuhada'.
Dalam suasana perang tersebut Khalid al-Walid bersemuka dengan seorang daripada panglima Romawi yang bernama George lalu terjadilah dialog antara keduanya.
George bertanya : "Wahai Khalid, hendaklah kamu berkata benar kerana setiap orang yang merdeka tidak akan berbohong. Apakah benar bahawa Tuhanmu telah menurunkan kepada Nabimu sebilah pedang dari langit lalu diberikan kepadamu dan kalau dihayunkan kepada seseorang pasti dia akan kalah"
Khalid b Al-Walid menjawab : "Tidak"
George bertanya lagi : "Mengapa kamu disebut Pedang Allah ?"
Khalid b Al-Walid berkata : "Bahawa Allah SWT telah mengutuskan kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami, tetapi ada yang mempercayainya dan ada yang mendustanya. Aku sendiri termasuk dari kalangan orang yang mendustakannya tetapi Allah telah membuka hatiku kepada Islam. Lalu aku mengadap Rasulullah untuk memeluk Islam dan janji setia kepadanya. Rasulullah terus menyatakan : "Engkau adalah sebilah pedang dari pedang Allah"
George bertanya lagi : "Apa yang kamu dakwahkan kepada manusia"
Khalid b Al-Walid menjelaskan : "Supaya mereka mentauhidkan Allah dan menerima ajaran Islam"
George seterusnya berkata : "Jika seseorang memeluk Islam sekarang seperti apa yang telah berlaku kepadamu, adakah dia akan mendapat ganjaran ?"
Khalid b Al-Walid menjawab : "Ya, itulah yang lebih utama"
George berkata : "Bagaimana yang terjadi kepadamu sebelum Islam ?"
Khalid b Al-Walid menjawab : "Kami hidup bersama Rasul lalu kami lihat tanda-tanda kenabian serta mukjizatnya. Kami benar-benar melihat dan mendengarnya, lalu kami memeluk Islam dengan mudah. Tetapi kamu tidak pernah melihat dan mendengarnya, kiranya kamu beriman dengan apa yang tidak kelihatan, maka ganjaranmu adalah lebih besar jika kamu beriman kepada Allah dengan jiwamu"
Akhirnya George telah mengucap syahadah di hadapan Khalid, belajar cara solat dan sempat solat dua rakaat. Kemudian beliau adalah seorang syuhada' perang Yarmuk............. !!! dan tentera Islam berjaya menumbangkan tentera Rom yang berjumlah 240,00 orang.
Ramai di kalangan tentera Islam yang syahid dan tidak kurang pula yang sakit, luka dan cedera. Mereka yang cedera parah, apabila seorang diberikan air, lantas dia berkata rakannya di sebelah lebih memerlukan. Lalu diberikan kepada rakannya, tiba-tiba orang yang kedua pun bersikap serupa, lebih mementingkan rakan yang lain..........begitulah seterusnya sehinggakan orang memberi air berpusing-pusing di antara mereka tetapi belum ada yang sudi meminumnya. Maka, kesemua mereka mati syahid di medang perang tersebut ! Ini membuktikan betapa wujudnya perasaan kasih kepada saudara seperti kasih kepada diri sendiri memang menjadi amalan mereka sebagaimana yang ditarbiahkan oleh Rasulullah SAW
Semasa belum memeluk Islam, beliau adalah musuh Islam yang paling digeruni di medan perang kerana strategi perangnya yang hebat di mana umat Islam telah mendapat pengajaran yang cukup hebat ketika perang Uhud dahulu.
Khalid al-Walid telah memeluk Islam pada bulan Safar tahun 8H bersama-sama Uthman b Talhah dan Amru b Al-As. Setelah itu, beliau adalah pahlawan yang berjuang menentang orang-orang yang menentang Rasulullah SAW.
Berbicara tentang Khalid, tentunya tidak lengkap kalau tidak menceritakan tentang peristiwa dalam peperangan Muktah yang memang terkenal itu.
Dalam Perang Muktah, tentera Islam yang sedikit bilangannya telah berdepan dengan lebih kurang 200,000 orang tentera Rom. Dalam pertempuran tersebut, tentera Islam telah mendapat tentangan yang cukup dahsyat nyaris-nyaris menerima kekalahan. Bendera Islam telah dipegang oleh Zaid b Harithah yang kemudiannya gugur syahid, diambilalih pula oleh Jaafar bin Abu Thalib. Beliau turut syahid, maka bendera tadi dipegang oleh Abdullah bin Rawahah yang juga gugur sebagai syuhada'. Lantas bendera bertukartangan kepada Thabit bin Arqam dan menyerahkannya kepada Khalid al-Walid. Atas persetujuan ramai, maka Khalid al-Walidpun menjadi komandan perang dan terus mengarahkan tentera Islam berundur ke Madinah kerana sudah terlalu ramai yang syahid dan tentera yang tinggal tidak mampu untuk bertahan lagi.
Di zaman Khalifah Abu Bakar, Khalid ditugaskan untuk mengahpuskan golongan murtad. Saidina Abu Bakar telah memberi pidato semangat kepada tentera Islam yang antara lainnya berbunyi :"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Sebaik-baik hamba Allah dan saudara dalam satu suku iaitu Khalid b Al-Walid, Saifullah, yang pedangnya akan dihayunkan kepada orang-orang kafir dan munafik"
Beliau juga ditugaskan untuk membunuh Musailamah Al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi dan mempunyai ramai pengikutnya. Dalam peperangan tersebut (Perang Yamamah), ramai tentera Islam yang terkorban. Khalid All-Walid sebagai pahlawan sejati yang pakar dalam strategi peperangan telah berjaya memberi semangat baru kepada tenteranya dengan ucapannya yang penuh karisma. Beliau berteriak kepada tenteranya : "Bergembiralah kerana kami akan melihat setiap orang akan mengalami bencana masing-masing"
Dalam Perang Yarmuk menentang tentera Rom, beliau telah berjumpa dengan panglima musuh yang bernama Mahan yang dengan angkuhnya merendah-rendahkan moral tentera Islam. Mahan telah berkata : "Aku tahu kamu semua meninggalkan tanah air kerana terpaksa dan kelaparan. Jika kamu semua setuju, aku akan berikan setiap seorang tentera 10 dinar beserta dengan pakaian dan makanan dengan syarat mereka berangkat pulang dan tahun depan jumlah yang serupa akan dihantar ke Madinah".
Khalid b Al-Walid dengan tegasnya menjawab : "Kami tidak akan keluar dari negeri kami kerana kelaparan seperti yang engkau sangkakan. Tetapi kami ialah satu kaum yang suka minum darah dan kami tahu tidak ada darah yang lebih lazat dan nikmat seperti darah orang Romawi, sebab itulah kami ke mari"
Setelah itu, Khalid Al-Walid selaku komandan perang beerteriak dengan kuatnya sambil bertakbir "Allahu Akbar" "Marilah kita berebut-rebut mencium bau Syurga". Maka terjadilah peperangan yang amat dahsyat. Anak panah bersimpang siur dan mayat bergelimpangan.
Tiba-tiba seorang tentera Islam menghampiri Abu Ubaidah b al-Jarrah r.a.sambil berkata : "Sesungguhnya aku bercita-cita untuk mati syahid, adakah engkau mempunyai sebarang pesanan yang hendak disampaikan kepada Rasulullah SAW, kelak aku akan sampaikan kepada baginda ketika aku berjumpanya (di Syurga)"
Jawab Abu Ubaidah b al-Jarrah r.a : "Ya ! Katakan kepadanya : "Wahai Rasulullah SAW ! Sesungguhnya kami telah dapati bahawa apa yang dijanjikan oleh Tuhan Kami (Allah) adalah benar". Lalu tentera tadi bertempur dengan hebatnya dan gugur sebagai syuhada'.
Dalam suasana perang tersebut Khalid al-Walid bersemuka dengan seorang daripada panglima Romawi yang bernama George lalu terjadilah dialog antara keduanya.
George bertanya : "Wahai Khalid, hendaklah kamu berkata benar kerana setiap orang yang merdeka tidak akan berbohong. Apakah benar bahawa Tuhanmu telah menurunkan kepada Nabimu sebilah pedang dari langit lalu diberikan kepadamu dan kalau dihayunkan kepada seseorang pasti dia akan kalah"
Khalid b Al-Walid menjawab : "Tidak"
George bertanya lagi : "Mengapa kamu disebut Pedang Allah ?"
Khalid b Al-Walid berkata : "Bahawa Allah SWT telah mengutuskan kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami, tetapi ada yang mempercayainya dan ada yang mendustanya. Aku sendiri termasuk dari kalangan orang yang mendustakannya tetapi Allah telah membuka hatiku kepada Islam. Lalu aku mengadap Rasulullah untuk memeluk Islam dan janji setia kepadanya. Rasulullah terus menyatakan : "Engkau adalah sebilah pedang dari pedang Allah"
George bertanya lagi : "Apa yang kamu dakwahkan kepada manusia"
Khalid b Al-Walid menjelaskan : "Supaya mereka mentauhidkan Allah dan menerima ajaran Islam"
George seterusnya berkata : "Jika seseorang memeluk Islam sekarang seperti apa yang telah berlaku kepadamu, adakah dia akan mendapat ganjaran ?"
Khalid b Al-Walid menjawab : "Ya, itulah yang lebih utama"
George berkata : "Bagaimana yang terjadi kepadamu sebelum Islam ?"
Khalid b Al-Walid menjawab : "Kami hidup bersama Rasul lalu kami lihat tanda-tanda kenabian serta mukjizatnya. Kami benar-benar melihat dan mendengarnya, lalu kami memeluk Islam dengan mudah. Tetapi kamu tidak pernah melihat dan mendengarnya, kiranya kamu beriman dengan apa yang tidak kelihatan, maka ganjaranmu adalah lebih besar jika kamu beriman kepada Allah dengan jiwamu"
Akhirnya George telah mengucap syahadah di hadapan Khalid, belajar cara solat dan sempat solat dua rakaat. Kemudian beliau adalah seorang syuhada' perang Yarmuk............. !!! dan tentera Islam berjaya menumbangkan tentera Rom yang berjumlah 240,00 orang.
Ramai di kalangan tentera Islam yang syahid dan tidak kurang pula yang sakit, luka dan cedera. Mereka yang cedera parah, apabila seorang diberikan air, lantas dia berkata rakannya di sebelah lebih memerlukan. Lalu diberikan kepada rakannya, tiba-tiba orang yang kedua pun bersikap serupa, lebih mementingkan rakan yang lain..........begitulah seterusnya sehinggakan orang memberi air berpusing-pusing di antara mereka tetapi belum ada yang sudi meminumnya. Maka, kesemua mereka mati syahid di medang perang tersebut ! Ini membuktikan betapa wujudnya perasaan kasih kepada saudara seperti kasih kepada diri sendiri memang menjadi amalan mereka sebagaimana yang ditarbiahkan oleh Rasulullah SAW
Jumat, 07 Oktober 2011
KISAH ISLAMNYA SALMAN AL-FARISI
Dari Abdullah bin Abbas Radliyallahu ‘Anhuma berkata, “Salman al-Farisi Radliyallahu ‘Anhu menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, “Aku seorang Ielaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seorang budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang berlanggung jawabatas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam. Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi kesana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hari, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’ Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?‘ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak niengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi? Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari lempat itu sampai matahari terbenam,’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampai kan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.
Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’ Maka aku pun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sede-kah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk menge-bumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebe-narnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’ Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain scbagai peng-gantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintai-nya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu Iihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perin-tahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku. Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masya-rakatpun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai. anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperli aku kecuali seorang di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!‘
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku. Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewa-siatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan? dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu ter-dapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’ Kemudian orang ini pun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka. Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi. Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi, Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, kepo-nakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. la mem-beliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebut-kan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah men-dengar ceritanya karena kesibukanku scbagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku be-kerja di pcrkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan, Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?‘ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ”Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. ‘Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepa-da engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pembe-rianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘lnilah tanda ke nabi an yang kedua.’
Selanjulnya aku menemui beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang dise-butkan Si Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku sebagai-mana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang hams aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seo-rang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Berang-katlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletak-kannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memberitahukan perihalku, Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari ram-pasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebus-anmu wahai Salman!’
Wahai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.’
(HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabranl dalam al-Kabir(6/222); lbnu Sa’ad dalam ath-Thabagat, 4/75; al-Balhaqi dalam al-kubra, 10/323.)
Kisah ini bisa dibaca di Kitab:
1. Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam (terjemah). Ibnu Hisyam. Darul Falah.
2. 61 Kisah Pengantar Tidur. Muhammad bin Hamid Abdul Wahab. Darul Haq.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang berlanggung jawabatas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam. Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi kesana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hari, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’ Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?‘ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak niengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi? Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari lempat itu sampai matahari terbenam,’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampai kan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.
Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’ Maka aku pun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sede-kah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk menge-bumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebe-narnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’ Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain scbagai peng-gantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintai-nya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu Iihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perin-tahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku. Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masya-rakatpun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai. anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperli aku kecuali seorang di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!‘
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku. Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewa-siatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan? dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu ter-dapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’ Kemudian orang ini pun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka. Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi. Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi, Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, kepo-nakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. la mem-beliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebut-kan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah men-dengar ceritanya karena kesibukanku scbagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku be-kerja di pcrkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan, Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?‘ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ”Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. ‘Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepa-da engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pembe-rianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘lnilah tanda ke nabi an yang kedua.’
Selanjulnya aku menemui beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang dise-butkan Si Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku sebagai-mana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang hams aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seo-rang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Berang-katlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletak-kannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memberitahukan perihalku, Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari ram-pasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebus-anmu wahai Salman!’
Wahai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.’
(HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabranl dalam al-Kabir(6/222); lbnu Sa’ad dalam ath-Thabagat, 4/75; al-Balhaqi dalam al-kubra, 10/323.)
Kisah ini bisa dibaca di Kitab:
1. Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam (terjemah). Ibnu Hisyam. Darul Falah.
2. 61 Kisah Pengantar Tidur. Muhammad bin Hamid Abdul Wahab. Darul Haq.
Langganan:
Postingan (Atom)